Seorang
wanita berhati mulia, pemimping para ibu. Seorang ibu yang telah
menganugerahkan anak tunggal yang mulia pembawa hidayah. Dialah Aminah biti
Wahab. Ibu dari Muhammad bin Abdullah yang diutus Allah sebagai rahmat seluruh
alam. Cukuplah baginya kemuliaan dan kebangggaan yang tidak dapat dipungkiri,
bahwa Allah azza wa jalla memilihnya sebagai ibu seorang rasul mulia dan nabi
yang terakhir.
Berkatalah
Muhammad puteranya tentang nasabnya. ” Allah telah memilih aku dari Kinanah,
dan memilih Kinanah dari suku Quraisy bangsa Arab. Aku berasal dari keturunan
orang-orang yang baik, dari orang-orang yang baik, dari orang-orang yang baik.”
Dengarlah sabdanya lagi, “Allah memindahkan aku dari sulbi-sulbi yang baik ke
rahim-rahim yang suci secara terpilih dan terdidik. Tiadalah bercabang dua,
melainkan aku di bagian yang terbaik.”
Aminah
bukan cuma ibu seorang rasul atau nabi, tetapi juga wanita pengukir sejarah.
Kerana risalah yang dibawa putera tunggalnya sempurna, benar dan kekal
sepanjang zaman. Suatu risalah yang bermaslahat bagi ummat manusia. Berkatalah
Ibnu Ishaq tentang Aminah bt Wahab ini. “Pada waktu itu ia merupakan gadis yang
termulia nasab dan kedudukannya di kalangan suku Quraisy.”
Menurut
penilaian Dari. Bint Syaati tentang Aminah ibu Muhammad yaitu. “Masa kecilnya
dimulai dari lingkungan paling mulia, dan asal keturunannya pun paling baik. Ia
memiliki kebaikan nasab dan ketinggian asal keturunan yang dibanggakan dalam
masyarakat aristokrasi yang sangat membanggakan kemuliaan nenek moyang dan
keturunannya.”
Aminah
merupakan bunga yang indah di kalangan Quraisy serta menjadi puteri dari
pemimpin bani Zuhrah. Pergaulannya senantiasa dalam penjagaan dan tertutup dari
pandangan mata. Terlindung dari pergaulan bebas sehingga sukar untuk dapat
mengetahui jelas penampilannya atau gambaran fisiknya. Para sejarawan hampir
tidak mengetahui kehidupannya kecuali sebagai gadis Quraisy yang paling mulia
nasab dan kedudukannnya di kalangan Quraisy.
Meski
tersembunyi, baunya yang harum semerbak keluar dari rumah
Sayidatina Fatimah r.ha
Dia
besar dalam suasana kesusahan. Ibundanya pergi ketika usianya terlalu muda dan
masih memerlukan kasih sayang seorang ibu. Sejak itu, dialah yang mengambil
alih tugas mengurus rumahtangga seperti memasak, mencuci dan menguruskan
keperluan ayahandanya.
Di
balik kesibukan itu, dia juga adalah seorang yang paling kuat beribadah.
Keletihan yang ditanggung akibat seharian bekerja menggantikan tugas ibunya
yang telah pergi itu, tidak pula menghalang Sayidatina Fatimah daripada
bermunajah dan beribadah kepada Allah SWT. Malam- malam yang dilalui, diisi
dengan tahajud, zikir dan siangnya pula dengan sembahyang, puasa, membaca Al
Quran dan lain-lain. Setiap hari, suara halusnya mengalunkan irama Al Quran.
Di
waktu umurnya mencapai 18 tahun, dia dikawinkan dengan pemuda yang sangat
miskin hidupnya. Bahkan karena kemiskinan itu, untuk membayar mas kawin pun
suaminya tidak mampu lalu dibantu oleh Rasulullah SAW.
Setelah
berkawin kehidupannya berjalan dalam suasana yang amat sederhana, gigih dan
penuh ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Digelari Singa Allah, suaminya
Sayidina Ali merupakan orang kepercayaan Rasulullah SAW yang diamanahkan untuk
berada di barisan depan dalam tentera Islam. Maka dari itu, seringlah
Sayidatina Fatimah ditinggalkan oleh suaminya yang pergi berperang untuk
berbulan-bulan lamanya. Namun dia tetap ridho dengan suaminya. Isteri mana yang
tidak mengharapkan belaian mesra daripada seorang suami. Namun bagi Sayidatina
Fatimah r.ha, saat-saat berjauhan dengan suami adalah satu kesempatan
berdampingan dengan Allah SWT untuk mencari kasih-Nya, melalui ibadah-ibadah
yang dibangunkan.
Sepanjang
kepergian Sayidina Ali itu, hanya anak-anak yang masih kecil menjadi temannya.
Nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya Hassan, Hussin, Muhsin, Zainab dan Umi
Kalsum diusahakan sendiri. Untuk mendapatkan air, berjalanlah dia sejauh hampir
dua batu dan mengambilnya dari sumur yang 40 hasta dalamnya, di tengah teriknya
matahari padang pasir. Kadangkala dia lapar sepanjanghari. Sering dia berpuasa
dan tubuhnya sangat kurus hingga menampakkan tulang di dadanya.
Pernah
suatu hari, ketika dia sedang tekun bekerja di sisi batu pengisar gandum,
Rasulullah datang berkunjung ke rumahnya. Sayidatina Fatimah yang amat
keletihan ketika itu lalu menceritakan kesusahan hidupnya itu kepada Rasulullah
SAW. Betapa dirinya sangat letih bekerja, mengangkat air, memasak serta merawat
anak-anak. Dia berharap agar Rasulullah dapat menyampaikan kepada Sayidina Ali,
kalau mungkin boleh disediakan untuknya seorang pembantu rumah. Rasulullah saw
merasa terharu terhadap penanggungan anaknya itu. Namun baginda amat tahu,
sesungguhnya Allah memang menghendaki kesusahan bagi hamba-Nya sewaktu di dunia
untuk membeli kesenangan di akhirat. Mereka yang rela bersusah payah dengan
ujian di dunia demi mengharapkan keridhoan-Nya, mereka inilah yang mendapat
tempat di sisi-Nya. Lalu dibujuknya Fatimah r.ha sambil memberikan harapan
dengan janji-janji Allah. Baginda mengajarkan zikir, tahmid dan takbir yang
apabila diamalkan, segala penanggungan dan bebanan hidup akan terasa ringan.
Ketaatannya
kepada Sayidina Ali menyebabkan Allah SWT mengangkat derajatnya. Sayidatina
Fatimah tidak pernah mengeluh dengan kekurangan dan kemiskinan keluarga mereka.
Tidak juga dia meminta-minta hingga menyusah-nyusahkan suaminya.
Dalam
pada itu, kemiskinan tidak menghilang Sayidatina Fatimah untuk selalu
bersedekah. Dia tidak sanggup untuk kenyang sendiri apabila ada orang lain yang
kelaparan. Dia tidak rela hidup senang dikala orang lain menderita. Bahkan dia
tidak pernah membiarkan pengemis melangkah dari pintu rumahnya tanpa memberikan
sesuatu meskipun dirinya sendiri sering kelaparan. Memang cocok sekali pasangan
Sayidina Ali ini karena Sayidina Ali sendiri lantaran kemurahan hatinya
sehingga digelar sebagai ‘Bapa bagi janda dan anak yatim di Madinah.
Namun,
pernah suatu hari, Sayidatina Fatimah telah menyebabkan Sayidina Ali tersentuh
hati dengan kata-katanya. Menyadari kesalahannya, Sayidatina Fatimah segera meminta
maaf berulang-ulang kali.
Ketika
dilihatnya raut muka suaminya tidak juga berubah, lalu dengan berlari-lari
bersama anaknya mengelilingi Sayidina Ali. Tujuh puluh kali dia ‘tawaf’ sambil
merayu-rayu memohon dimaafkan. Melihatkan aksi Sayidatina Fatimah itu,
tersenyumlah Sayidina Ali lantas memaafkan isterinya itu.
“Wahai
Fatimah, kalaulah dikala itu engkau mati sedang Ali tidak memaafkanmu, niscaya
aku tidak akan menyembahyangkan jenazahmu,” Rasulullah SAW memberi nasehat
kepada puterinya itu ketika masalah itu sampai ke telinga baginda.
Begitu
tinggi kedudukan seorang suami yang ditetapkan Allah SWT sebagai pemimpin bagi
seorang isteri. Betapa seorang isteri itu perlu berhati-hati dan sopan di saat
berhadapan dengan suami. Apa yang dilakukan Sayidatina Fatimah itu bukanlah
disengaja, bukan juga dia membentak – bentak, marah-marah, meninggikan suara,
bermasam muka, atau lain-lain yang menyusahkan Sayidina Ali meskipun demikian
Rasulullah SAW berkata begitu terhadap Fatimah.
Ketika
perang Uhud, Sayidatina Fatimah ikut merawat luka Rasulullah. Dia juga turut
bersama Rasulullah semasa peristiwa penawanan Kota Makkah dan ketika
ayahandanya mengerjakan ‘Haji Wada’ pada akhir tahun 11 Hijrah. Dalam
perjalanan haji terakhir ini Rasulullah SAW telah jatuh sakit. Sayidatina
Fatimah tetap di sisi ayahandanya. Ketika itu Rasulullah membisikkan sesuatu ke
telinga Fatimah r.ha membuatnya menangis, kemudian Nabi SAW membisikkan sesuatu
lagi yang membuatnya tersenyum.
Dia
menangis karena ayahandanya telah membisikkan kepadanya berita kematian
baginda. Namun, sewaktu ayahandanya menyatakan bahwa dialah orang pertama yang
akan berkumpul dengan baginda di alam baqa’, gembiralah hatinya. Sayidatina
Fatimah meninggal dunia enam bulan setelah kewafatan Nabi SAW, dalam usia 28 tahun
dan dimakamkan di Perkuburan Baqi’, Madinah.
Demikianlah
wanita utama, agung dan namanya harum tercatat dalam al-Quran, disusahkan
hidupnya oleh Allah SWT. Sengaja dibuat begitu oleh Allah kerana Dia tahu
bahawa dengan kesusahan itu, hamba-Nya akan lebih hampir kepada-Nya. Begitulah
juga dengan kehidupan wanita-wanita agung yang lain. Mereka tidak sempat
berlaku sombong serta membangga diri atau bersenang-senang. Sebaliknya, dengan
kesusahan-kesusahan itulah mereka dididik oleh Allah untuk senantiasa merasa
sabar, ridho, takut dengan dosa, tawadhuk (merendahkan diri), tawakkal dan
lain-lain. Ujian-ujian itulah yang sangat mendidik mereka agar bertaqwa kepada
Allah SWT. Justru, wanita yang sukses di dunia dan di akhirat adalah wanita
yang hatinya dekat dengan Allah, merasa terhibur dalam melakukan ketaatan
terhadap-Nya, dan amat bersungguh-sungguh menjauhi larangan-Nya, biarpun diri
mereka menderita.
ABOUTME
Hi all. Saya Chandra Ardilla Putra. Terimakasih, telah membaca artikel mengenai Aminah Bunda Rasulullah S.A.W. Semoga artikel tersebut bermanfaat untuk Anda. Mohon untuk memberikan 1+ pada Google+, 1 Like pada Facebook, dan 1 Follow pada Twitter. Jika ada pertanyaan atau kritik dan saran silahkan tulis pada kotak komentar yang sudah disediakan.
0 komentar:
Posting Komentar